oleh Andi Sukmono Kumba / Ketua Umum Yayasan Ayo Indonesia
Ibarat cinta, kekuasaan tidak ada habis-habisnya dibicarakan dan diulas. Kekuasaan selalu berkelindan. Baik dilafalkan ataupun tidak, relasi-relasi kuasa terus hadir dalam wacana dan praktik kehidupan. Menguaknya sama dengan mengungkap jati diri manusia yang memiliki hasrat untuk berkuasa, will to power. Wajar ketika kekuasaan direngkuh, manusia cenderung enggan melepasnya.
Itulah nalar politik kekuasaan, yang kian menguat dan mengakar dalam berbagai perhelatan politik. Demokrasi yang sejatinya mendelegitimasi oligarki, acapkali menghadirkan anomali-anomali. Salah satu chapter yang menarik dicermati dalam anomali tersebut adalah, sistem kerja kuasa dalam nalar politik dinasti. Sebuah kuasa politik yang dijangkarkan melalui trah darah dan keluarga.
Secara sosiologis, politik dinasti merupakan libido manusia yang ingin membangun kekuasaan yang sebesar-besarnya. Kekuasaan diperlakukan seperti tumpukan harta yang mesti diproteksi dan diwariskan. Abad lampau, politik dinasti dijalarkan melalui legitimasi “titah Tuhan” dan dewa-dewa suci.
Tetapi abad modern, politik dinasti dijalarkan melalui legitimasi “titah rakyat”. Modusnya sama, tapi instrumentnya berbeda. Semakin besar dukungan dan harapan rakyat terhadap patron dinasti, semakin besar juga keterpeliharaan kekuasaan untuk diwariskan secara turun-temurun.
Jalur kekuasaan dilanggengkan melalui diskursus dan prosedur demokrasi untuk membangun dinasti politik seperti masa kerajaan abad pertengahan. Diskurus-diskursus ini dimainkan agar legitimasi dan citra “demokratis” atau “sesuai dengan kehendak rakyat” tetap terjaga. Disinilah legitimasi dimainkan, bahkan tidak jarang dimanipulasi melalui jalur-jalur prosedur demokrasi. Dalam perkembangan itu, maka spirit monarki akan menjadi momok laten demokrasi kita ke depan.
Diskursus dan praktik politik dinasti sudah terjadi sejak lampau. Pada era Yunani Helenistik, ada dinasti Seleukus I Nikator (305–281 SM) yang dilanjutkan Seleukus II Kalinikus (261-246 SM), dan Seleukus III Seraunus (225-223 SM). Bahkan, Stephen Hess (1966) menyebutkan di Amerika Serikat, praktik politik dinasti juga terjadi dari dinasti John Adams (1797-1801 M) hingga John F. Kennedy (1961-1963). Terakhir, George H. W. Bush, dan Bill Clinton pun punya gelagat yang sama.
Lubang Prosedural
Tampilnya generasi-genarasi patron dinasti ke panggung politik tidak mengambil jalan ekstrim dengan melawan sistem, melainkan melalui lubang-lubang sistem demokrasi itu sendiri. Sehingga pola kerjanya tetap melalui mekanisme yang demokratis, karena legitimasi yang diraih melalui prosedur tersebut. Inilah sisi anomali demokrasi terjadi dan mudah dimanipulasi.
Menguatnya politik dinasti, merupakan salah satu dampak dari orientasi demokrasi yang masih prosedural an sich. Keberhasilan demokrasi, semata diproyeksikan pada tingkat electoral. Sementara subtansi meritokrasi, untuk menciptakan kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat, terabaikan. Kegandrungan prosedural inilah yang menjadi jalan pembajakan demokrasi. Sehingga, demokrasi tak berhasil merangkul kepentingan orang banyak.
Kita belajar dari sejarah demokrasi yang dibelokkan sebagai alat kepanjangan tangan kekuasaan. Selama 32 tahun, Seoharto memainkan prosedur-prosedur demokrasi dengan menciptakan ranah kuasa bagi kroni-kroninya.
Hanya saja, pada era tersebut, polanya lebih sederhana karena dijangkarkan secara sentral, sementara pada era transisi ini, politik dinasti terdesentralisasi, tersebar dan berserak. Tidak hanya tumbuh di wilayah sentral, tapi juga di wilayah-wilayah periferial. Model gerakannya sama, yakni memainkan lubang prosedural serta memanfaatkan kriteria tidak rasional (non rational evaluation criteria) yang mendominasi peta kongnitif masyarakat, yang belum melek politik.
Uang dan Kekuasaan
Daya tahan demokrasi prosedural dapat dirobohkan melalui dua cara, kekuatan uang dan kekuasaan. Dua modal ini rata-rata dimiliki oleh patron yang membangun dinasti politik. Uang menjadi kekuatan besar dan menjadi alat kendali ketika bergayung-sambut dengan ruang lebenswelt (lifeworld) politik yang dipenuhi mental pragmatis, instan, dan hampa ideologi.
Kekuatan ini menjadi sempurna ketika jejaring kekuasaan patron tidak hanya bekerja secara networking, tapi juga memiliki kekuatan legitimasi dan otoritas.
Dua kekuatan itulah yang menjadi modal bangunan politik dinasti. Kecenderungan ini dapat dilihat dari maraknya kerabat dan kroni yang diposisikan sebagai pengganti estafeta kekuasaan patron. Rata-rata generasi trah keluarga itu dimunculkan oleh mereka yang saat ini sedang menjadi figur pengendali uang dan kekuasaan (baca; status quo), baik di partai politik ataupun di pemerintahan di daerah-daerah.
Politik dinasti apapun alasannya tidak selaras dengan spirit demokrasi subtansial, karena menutup ruang dan peluang munculnya pemimpin yang lebih kapabel. Demokrasi merupakan ruang kompetisi objektif yang lebih subtansial, yakni kompetisi ideology, nilai atau cita-cita ideal, bukan lingkaran kompetisi oligarki dan trah keluarga.
Dan, jika demokrasi masih dibawah ketiak uang dan kekuasaan, maka demokrasi yang dimaksudkan sebagai sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama (virtues) akan terus terbengkalai.




